Warok dan Gemblak : Homoseksualitas Dalam Budaya
Oleh : Tedi Dwi Sampurno
![]() |
https://www.google.co.id/search?q=warok+dan+gemblak&source=lnms&tbm=isch&sa=X&sqi=2&ved=0ahUKEwi71dL5rYbVAhXMk5QKHSbqCCQQ_ AUIBigB&biw=1366&bih=613#imgrc=5WEMgG-BVInT6M: |
Pada umumnya, kita membedakan jenis
kelamin manusia menjadi 2, yaitu laki laki dan perempuan. Namun tahukah bahwa
dibeberapa suku ada yang membedakan jenis kelamin atau gender menjadi 5 seperti
halnya masyarakat Bugis. Masyarakat suku Bugis di Sulawesi Selatan mengenal
adanya 5 gender, yaitu laki-laki, perempuan, calalai (perempuan maskulin yang biasanya
mempunyai pasangan perempuan lain, calabai ( lelaki feminim yang biasanya
berpasangan dengan lelaki) dan Bissu yang dianggap kombinasi atau percampuran
dari keempat gender yang ada. Selain itu bahkan suku Muangthai mengenal
pembagian gender menjadi 10.
Tidak bisa dipungkiri bahwa keberagaman
gender dan seksualitas ada dan berkembang di Indonesia. Namun, keberagamaan
gender dan seksualitas nampaknya tidak mendapat tempat dimasyarakat. Masyarakat
seakan bersikeras, memaksa dan mengakui adanya dua gender saja yaitu lelaki dan
perempuan dengan sebuah keharusan yang harus dipenuhi. Sebuah keharusan ini
misalnya laki laki harus maskulin dan perempuan harus feminim. Seseorang yang
melampaui batas dengan keharusan tersebut akan dianggap menyimpang dengan nilai
yang ada dan dianggap sebuah pelanggaran terhadap ajaran agama. Sebagai contoh
seorang waria, gay, ataupun lesbian mungkin akan dianggap minoritas dan
didiskriminasi oleh masyarakat pada umumnya walaupun sebagian mereka juga
diterima kedalam sebuah tempat tempat hiburan.
Namun satu hal yang tidak bisa dibantah
bahwa seksualitas adalah satu bagian yang dimiliki manusia. Seksualitas adalah
bagaimana manusia mengalami, menghayati dan mengekspresikan diri sebagai mahluk
seksual. Banyak masyarakat Indonesia yang berpendapat bahwa perilaku seksual
seperti homoseksual tidak dibenarkan dalam persepektif agama maupun budaya
lokal karena melanggar nilai nilai yang ada. Tapi sebenarnya homoseksual ini
telah lama tumbuh dan berkembang didalam beberapa tradisi dan budaya di
Indonesia. Sebagai contoh adalah hubungan homoseksual yang terjadi dalam
kesenian warok-gemblak
Keberadaan warok-gemblak di Ponorogo tidak
bisa dilepaskan dari kesenian rakyat yang di sebut Reog yang telah menjadi trademark Kabupaten Ponorogo. Warok
merupakan tokoh utama dalam pertunjukkan reog yang digambarkan sosok yang sakti
atau tangguh. Keberadaan warok kemudian menjadi tokoh sentral dalam kesenian
reog tersebut. Dalam kesenian reog, selain warok sebagai tokoh sentral juga
dikenal keberadaan tokoh pembarong yaitu tokoh yang membawa barongan serta gemblak
atau remaja laki laki berparas tampan yang menjadi pendamping warok. Relasi antara
warok dan gemblak tersebutlah yang kemudian dapat dikategorikan sebagai bentuk
relasi homoseksual yang telah melembaga dalam tradisi reog ponorogo.
Keberadaan gemblak selalu diperankan oleh
remaja laki laki berparas tampan yang berusia antara 10 sampai 17 tahun. Lebih lanjut
lagi dijelaskan bahwa persyaratan gemblak haruslah laki laki karena seorang
warok tidak boleh kesengsem atau
jatuh cinta kepada perempuan. Jika pantangan ini dilanggar maka kekebalan warok
akan hilang, kulit menjadi empuk, tulang menjadi rapuh dan perut menjadi
seperti gedebog pisang. Dalam pertunjukkan reog ponorogo pun, seorang warok
yang digambarkan sosok yang sakti memiliki banyak sekali prasyarat yang harus
dipenuhi sebelum melakukan pementasan. Salah satu prasyarat yang harus dipenuhi
adalah tubuh harus bersih karena akan
di isi dengan kekuatan dan kesaktian. Oleh sebab itu calon warok harus bisa
mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan
dengan perempuan.
Dari segala persyaratan yang harus
dipenuhi maka muncul apa yang disebut sebagai gemblakan. Gemblakan adalah suatu upaya warok untuk menyalurkan
hasrat dan emosi seksualnya kepada sesama jenis karena dalam pantangannya warok
jelas dilarang untuk berhubungan dengan wanita. Oleh sebab itu kemudian warok
memiliki gemblak, yaitu anak laki laki usia 12-17 tahun berparas tampan dan
terawat yang dipeliharanya sebagai klangenan.
Seorang gemblak memiliki peranan sebagai penari jaranan yang didandani
menyerupai wanita. Namun selain peranannya dalam pertunjukkan, peranan gemblak
juga akan berlanjut dalam kehidupan pribadi sang warok yang menjadi
pengasuhnya.
Untuk meminang seorang gemblak, biasanya
warok harus melakukan pinangan sebagaimana halnya tradisi dalam perkawinan. Seorang
gemblak yang dipilih oleh warok berdasarkan ketampanan dan kebersihannya. Sang
warok biasanya meminang dengan mas kawin beberapa ekor sapi betina dan sebidang
tanah. Setelah dipinang, gemblak akan dipenuhi segala kebutuhannya dan mulai
diperlakukan layaknya seorang istri sungguhan. Kepemilikan gemblak ini juga
menunjukkan status sosial sang warok. Semakin banyak gemblak yang dimiliki
warok maka semakin tinggi pula status sosial yang dimiliki sang warok dan
menjadi kebanggannya. Selain itu pada umumnya kerelaan menjadi gemblak biasanya
terjadi karena masalah ekonomi keluarga. Menjadi seorang gemblak dapat
meningkatkan ekonomi keluarga, itulah sebabnya sang keluarga merelakan anak
laki lakinya untuk dipinang demi kesejahteraan anak dan keluarganya sendiri.
Fenomenan hubungan antara warok dan
gemblak dalam kenyataannya dapat diterima oleh masyarakat Ponorogo dan menjadi
sesuatu yang wajar wajar saja. Keberadaan warok sebagai sosok yang sakti telah
membentuk seorang warok dianggap daya supranatural yang tinggi sehingga
terlihat kharismatik dan disegani oleh masyarakat. Adapun relasi antara warok
dan gemblak sebagai hubungan homoseksualitas dalam kacamata masyarakat dianggap
sebagai konsekuensi yang harus dijalani untuk memperoleh kesaktian, bukan
semata mata untuk melampiaskan nafu seksual. Terakhir, preferensi warok dan
gemblak untuk menjadi homoseksual bukan semata mata karena orientasi seksual
mereka yang mengarah kepada homoseksual, melainkan lebih mengarah kepada
pemenuhan pantangan dan siasat untuk tidak berhubungan dengan wanita. Selain itu
juga untuk membantu kondisi ekonomi gemblak. Keberadaan dan eksistensi warok –
gemblak dapat diterima oleh masyarakat lokal karena telah menjadi tradisi dan
kearifan lokal dan sang warok tetaplah menjadi sosok atau tokoh yang disegani
tanpa harus merasa malu menjadi tokoh warok
0 komentar:
Posting Komentar