Now you can Subscribe using RSS

Submit your Email

Kamis, 13 Juli 2017

Unknown
Warok dan Gemblak : Homoseksualitas Dalam Budaya
Oleh : Tedi Dwi Sampurno
https://www.google.co.id/search?q=warok+dan+gemblak&source=lnms&tbm=isch&sa=X&sqi=2&ved=0ahUKEwi71dL5rYbVAhXMk5QKHSbqCCQQ_
AUIBigB&biw=1366&bih=613#imgrc=5WEMgG-BVInT6M:


Pada umumnya, kita membedakan jenis kelamin manusia menjadi 2, yaitu laki laki dan perempuan. Namun tahukah bahwa dibeberapa suku ada yang membedakan jenis kelamin atau gender menjadi 5 seperti halnya masyarakat Bugis. Masyarakat suku Bugis di Sulawesi Selatan mengenal adanya 5 gender, yaitu laki-laki, perempuan, calalai (perempuan maskulin yang biasanya mempunyai pasangan perempuan lain, calabai ( lelaki feminim yang biasanya berpasangan dengan lelaki) dan Bissu yang dianggap kombinasi atau percampuran dari keempat gender yang ada. Selain itu bahkan suku Muangthai mengenal pembagian gender menjadi 10.
Tidak bisa dipungkiri bahwa keberagaman gender dan seksualitas ada dan berkembang di Indonesia. Namun, keberagamaan gender dan seksualitas nampaknya tidak mendapat tempat dimasyarakat. Masyarakat seakan bersikeras, memaksa dan mengakui adanya dua gender saja yaitu lelaki dan perempuan dengan sebuah keharusan yang harus dipenuhi. Sebuah keharusan ini misalnya laki laki harus maskulin dan perempuan harus feminim. Seseorang yang melampaui batas dengan keharusan tersebut akan dianggap menyimpang dengan nilai yang ada dan dianggap sebuah pelanggaran terhadap ajaran agama. Sebagai contoh seorang waria, gay, ataupun lesbian mungkin akan dianggap minoritas dan didiskriminasi oleh masyarakat pada umumnya walaupun sebagian mereka juga diterima kedalam sebuah tempat tempat hiburan.
Namun satu hal yang tidak bisa dibantah bahwa seksualitas adalah satu bagian yang dimiliki manusia. Seksualitas adalah bagaimana manusia mengalami, menghayati dan mengekspresikan diri sebagai mahluk seksual. Banyak masyarakat Indonesia yang berpendapat bahwa perilaku seksual seperti homoseksual tidak dibenarkan dalam persepektif agama maupun budaya lokal karena melanggar nilai nilai yang ada. Tapi sebenarnya homoseksual ini telah lama tumbuh dan berkembang didalam beberapa tradisi dan budaya di Indonesia. Sebagai contoh adalah hubungan homoseksual yang terjadi dalam kesenian warok-gemblak
Keberadaan warok-gemblak di Ponorogo tidak bisa dilepaskan dari kesenian rakyat yang di sebut Reog yang telah menjadi trademark Kabupaten Ponorogo. Warok merupakan tokoh utama dalam pertunjukkan reog yang digambarkan sosok yang sakti atau tangguh. Keberadaan warok kemudian menjadi tokoh sentral dalam kesenian reog tersebut. Dalam kesenian reog, selain warok sebagai tokoh sentral juga dikenal keberadaan tokoh pembarong yaitu tokoh yang membawa barongan serta gemblak atau remaja laki laki berparas tampan yang menjadi pendamping warok. Relasi antara warok dan gemblak tersebutlah yang kemudian dapat dikategorikan sebagai bentuk relasi homoseksual yang telah melembaga dalam tradisi reog ponorogo.
Keberadaan gemblak selalu diperankan oleh remaja laki laki berparas tampan yang berusia antara 10 sampai 17 tahun. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa persyaratan gemblak haruslah laki laki karena seorang warok tidak boleh kesengsem atau jatuh cinta kepada perempuan. Jika pantangan ini dilanggar maka kekebalan warok akan hilang, kulit menjadi empuk, tulang menjadi rapuh dan perut menjadi seperti gedebog pisang. Dalam pertunjukkan reog ponorogo pun, seorang warok yang digambarkan sosok yang sakti memiliki banyak sekali prasyarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan pementasan. Salah satu prasyarat yang harus dipenuhi adalah tubuh harus bersih karena akan di isi dengan kekuatan dan kesaktian. Oleh sebab itu calon warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan.
Dari segala persyaratan yang harus dipenuhi maka muncul apa yang disebut sebagai gemblakan. Gemblakan adalah suatu upaya warok untuk menyalurkan hasrat dan emosi seksualnya kepada sesama jenis karena dalam pantangannya warok jelas dilarang untuk berhubungan dengan wanita. Oleh sebab itu kemudian warok memiliki gemblak, yaitu anak laki laki usia 12-17 tahun berparas tampan dan terawat yang dipeliharanya sebagai klangenan. Seorang gemblak memiliki peranan sebagai penari jaranan yang didandani menyerupai wanita. Namun selain peranannya dalam pertunjukkan, peranan gemblak juga akan berlanjut dalam kehidupan pribadi sang warok yang menjadi pengasuhnya.
Untuk meminang seorang gemblak, biasanya warok harus melakukan pinangan sebagaimana halnya tradisi dalam perkawinan. Seorang gemblak yang dipilih oleh warok  berdasarkan ketampanan dan kebersihannya. Sang warok biasanya meminang dengan mas kawin beberapa ekor sapi betina dan sebidang tanah. Setelah dipinang, gemblak akan dipenuhi segala kebutuhannya dan mulai diperlakukan layaknya seorang istri sungguhan. Kepemilikan gemblak ini juga menunjukkan status sosial sang warok. Semakin banyak gemblak yang dimiliki warok maka semakin tinggi pula status sosial yang dimiliki sang warok dan menjadi kebanggannya. Selain itu pada umumnya kerelaan menjadi gemblak biasanya terjadi karena masalah ekonomi keluarga. Menjadi seorang gemblak dapat meningkatkan ekonomi keluarga, itulah sebabnya sang keluarga merelakan anak laki lakinya untuk dipinang demi kesejahteraan anak dan keluarganya sendiri.
Fenomenan hubungan antara warok dan gemblak dalam kenyataannya dapat diterima oleh masyarakat Ponorogo dan menjadi sesuatu yang wajar wajar saja. Keberadaan warok sebagai sosok yang sakti telah membentuk seorang warok dianggap daya supranatural yang tinggi sehingga terlihat kharismatik dan disegani oleh masyarakat. Adapun relasi antara warok dan gemblak sebagai hubungan homoseksualitas dalam kacamata masyarakat dianggap sebagai konsekuensi yang harus dijalani untuk memperoleh kesaktian, bukan semata mata untuk melampiaskan nafu seksual. Terakhir, preferensi warok dan gemblak untuk menjadi homoseksual bukan semata mata karena orientasi seksual mereka yang mengarah kepada homoseksual, melainkan lebih mengarah kepada pemenuhan pantangan dan siasat untuk tidak berhubungan dengan wanita. Selain itu juga untuk membantu kondisi ekonomi gemblak. Keberadaan dan eksistensi warok – gemblak dapat diterima oleh masyarakat lokal karena telah menjadi tradisi dan kearifan lokal dan sang warok tetaplah menjadi sosok atau tokoh yang disegani tanpa harus merasa malu menjadi tokoh warok


Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Templatelib