Oleh : Tedi Dwi Sampurno
![]() |
http://cssmora.org/institusi-pesantren-sebagai-produk-jihad-intelektual/ |
Mendengar kata pesantren, mungkin yang ada
dibenak kita adalah sebuah tempat untuk membina ilmu khususnya perihal agama.
Pesantren mengajarkan akhlak dan aqidah bagi santri atau didiknya agar kelak
dapat menjadi tokoh dalam masyarakat. Namun, siapa sangka bahwa didalam
pesantren justru terjadi praktek homoseksual diantara para santri. Dalam pesantren umumnya anak laki-laki dan
perempuan dipisahkan agar mereka tidak saling bertemu. Hal inilah kemudian
muncul istilah mairil dan pentol korek dipesantren. Jika di Ponorogo ada
istilah gemblak, maka dipesantren pun ada sebutan “mairil”. Definisinya pun
tidak jauh berbeda. Mairil ini diistilahkan sebagai santri yang tampan berkulit
putih dan bersih. Mereka yang memiliki wajah ganteng, tampan dan baby face
biasanya menjadi incaran senior laki-laki.
Fenomena mairil sepertinya dianggap biasa,
padahal hal ini bisa meningkat pada aktivitas seks yang melampaui batas.
Dipesantren dikenal pula istilah “nyempet”. Nyempet adalah jenis atau aktivitas
pelampiasan seksual dengan kelamin sejenis yang dilakukan seseorang ketika
hasrat seksualnya sedang memuncak, sedangkan mairil merupakan perilaku kasih
sayang kepada sesama jenis. Perilaku nyempet terjadi secara sesaat atau
insidental sedangkan mairil relatif bertahan lama dan intensifnya panjang.
Namun, fenomena ini nampaknya bukan menjadi hal tabu lagi bagi pesantren. Selain
itu perilaku ini bukanlah didasarkan atas kelainan atau perasaan sama sama
suka, melainkan lebih tepatnya disebabkan kurangnya intensifnya mereka bertemu
dengan perempuan karena peraturan pesantren yang ketat. Kebiasaan tidur dan
mandi bersama dengan sesama santri laki laki inilah diduga menjadi penyebab
munculnya mairil dan nyempet karena keseringan mereka melakukan aktivitas
bersama seperti mandi bersama, tidur bersama dsb. Selain itu aktivitas ini
dilakukan karena semata mata untuk pelampiasan hormon yang tidak terbendung, terlebih
para santri sedang memasuki usia pubertas. Biasanya aktivitas ini dilakukan
secara sembunyi sembunyi oleh santri senior kepada santri baru tanpa diketahui
oleh pengurus pesantren.
Namun, nampaknya tidak semua pengurus
pesantren tidak mengetahui istilah mairil dan nyempet ini. kebanyakan mereka
mengetahui dan menganggap ini sebagai hal yang wajar, karena nanti ketika
mereka lulus dari pesantren juga akan hilang hilang sendiri. Budaya mairil,
tidak bisa serta merta hilang begitu saja. Iklim sosiologis pesantren serta
kurang kepedulian pengurus menjadi salah satu indikator munculnya perilaku.
mairil dan nyempet. Namun, perilaku homoseksual ini bukanlah termasuk penyakit,
apalagi disejajarkan dengan Schizophrenia. Penderita Schizophrenia yang
berubah, seringkali tingkah polah mereka menjadi aneh ( bisa tampak lucu,
ngoceh sendiri dsb). Kegagalan homoseksual dan lesbian seperti mairil pada
budaya pesantren adalah fakta kegagalan parenting. Orangtua dan pengasuh
seperti dipondok pesantren yang kurang peduli menjadi penyebab munculnya
fenomena yang bukan menjadi hal tabu lagi. Seiring waktu mereka tumbuh bersama
fantasi yang tidak bisa dikekang pada gilirannya mereka hanya tinggal menunggu
hasil akhirnya. Kekecewaan mendalam, selalu disalahkan, dipermalukan didepan
umum, kerap menjadi objek bullying dsb malah akan memperparah situasi ini dan
tidak akan menyelesaikannya. Pilihan homoseksual atau lesbian bukan sesuatu
yang baru datang, namun ada sejuta persoalan yang melatarbelakanginya. Oleh
karena itu salah jika kita berteriak menghujat, memaki dengan tampil sebagai
aparat, tokoh agama dsb hanya untuk menghakimi mereka, menyebut mereka gila dan
tidak memeberikan winning solution untuk permasalahan ini.
adakah sumber rujukan yang jelas? saya butuh untk penelitian nih
BalasHapus