Now you can Subscribe using RSS

Submit your Email

Jumat, 14 Juli 2017

“Istilah Mairil dan Nyempet, Kisah Biru di Pesantren”

Unknown
 Oleh : Tedi Dwi Sampurno
http://cssmora.org/institusi-pesantren-sebagai-produk-jihad-intelektual/

Mendengar kata pesantren, mungkin yang ada dibenak kita adalah sebuah tempat untuk membina ilmu khususnya perihal agama. Pesantren mengajarkan akhlak dan aqidah bagi santri atau didiknya agar kelak dapat menjadi tokoh dalam masyarakat. Namun, siapa sangka bahwa didalam pesantren justru terjadi praktek homoseksual diantara para santri.  Dalam pesantren umumnya anak laki-laki dan perempuan dipisahkan agar mereka tidak saling bertemu. Hal inilah kemudian muncul istilah mairil dan pentol korek dipesantren. Jika di Ponorogo ada istilah gemblak, maka dipesantren pun ada sebutan “mairil”. Definisinya pun tidak jauh berbeda. Mairil ini diistilahkan sebagai santri yang tampan berkulit putih dan bersih. Mereka yang memiliki wajah ganteng, tampan dan baby face biasanya menjadi incaran senior laki-laki.
Fenomena mairil sepertinya dianggap biasa, padahal hal ini bisa meningkat pada aktivitas seks yang melampaui batas. Dipesantren dikenal pula istilah “nyempet”. Nyempet adalah jenis atau aktivitas pelampiasan seksual dengan kelamin sejenis yang dilakukan seseorang ketika hasrat seksualnya sedang memuncak, sedangkan mairil merupakan perilaku kasih sayang kepada sesama jenis. Perilaku nyempet terjadi secara sesaat atau insidental sedangkan mairil relatif bertahan lama dan intensifnya panjang. Namun, fenomena ini nampaknya bukan menjadi hal tabu lagi bagi pesantren. Selain itu perilaku ini bukanlah didasarkan atas kelainan atau perasaan sama sama suka, melainkan lebih tepatnya disebabkan kurangnya intensifnya mereka bertemu dengan perempuan karena peraturan pesantren yang ketat. Kebiasaan tidur dan mandi bersama dengan sesama santri laki laki inilah diduga menjadi penyebab munculnya mairil dan nyempet karena keseringan mereka melakukan aktivitas bersama seperti mandi bersama, tidur bersama dsb. Selain itu aktivitas ini dilakukan karena semata mata untuk pelampiasan hormon yang tidak terbendung, terlebih para santri sedang memasuki usia pubertas. Biasanya aktivitas ini dilakukan secara sembunyi sembunyi oleh santri senior kepada santri baru tanpa diketahui oleh pengurus pesantren.
Namun, nampaknya tidak semua pengurus pesantren tidak mengetahui istilah mairil dan nyempet ini. kebanyakan mereka mengetahui dan menganggap ini sebagai hal yang wajar, karena nanti ketika mereka lulus dari pesantren juga akan hilang hilang sendiri. Budaya mairil, tidak bisa serta merta hilang begitu saja. Iklim sosiologis pesantren serta kurang kepedulian pengurus menjadi salah satu indikator munculnya perilaku. mairil dan nyempet. Namun, perilaku homoseksual ini bukanlah termasuk penyakit, apalagi disejajarkan dengan Schizophrenia. Penderita Schizophrenia yang berubah, seringkali tingkah polah mereka menjadi aneh ( bisa tampak lucu, ngoceh sendiri dsb). Kegagalan homoseksual dan lesbian seperti mairil pada budaya pesantren adalah fakta kegagalan parenting. Orangtua dan pengasuh seperti dipondok pesantren yang kurang peduli menjadi penyebab munculnya fenomena yang bukan menjadi hal tabu lagi. Seiring waktu mereka tumbuh bersama fantasi yang tidak bisa dikekang pada gilirannya mereka hanya tinggal menunggu hasil akhirnya. Kekecewaan mendalam, selalu disalahkan, dipermalukan didepan umum, kerap menjadi objek bullying dsb malah akan memperparah situasi ini dan tidak akan menyelesaikannya. Pilihan homoseksual atau lesbian bukan sesuatu yang baru datang, namun ada sejuta persoalan yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu salah jika kita berteriak menghujat, memaki dengan tampil sebagai aparat, tokoh agama dsb hanya untuk menghakimi mereka, menyebut mereka gila dan tidak memeberikan winning solution untuk permasalahan ini.



“Ritual Inseminasi : Penanda Kedewasaan Dengan Minum Sperma”

Unknown
http://www.anehdidunia.com/2016/08/tradisi-seksual-paling-ekstrim-suku-suku-di-dunia.html

Homoseksualitas mungkin masih menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan oleh kebanyakan masyarakat di Indonesia. Pembicaraan mengenai hal hal yang berbau seksual nampaknya masih dianggap sebagai topik yang bersifat privasi. Akhir akhir ini pembahasan mengenai LGBT seperti homoseksualitas banyak mendapat kecaman dan penghakiman dari berbagai kalangan karena dianggap bukan budaya ketimuran. Entah pernyataan tersebut didasari karena ketidaktahuan atau memang tidak mau mencari tahu bahwa sebenarnya budaya homoseksual ini telah berkembang dan mengakar lama dibeberapa tradisi masyarakat Indonesia. Maka dari itu pembahasan mengenai keberagaman gender dan seksualitas harusnya tidak menjadi sesuatu yang dianggap risih  untuk dibicarakan karena faktanya beberapa tradisi suku di Indonesia telah mengenal ini sejak lama sebagai basis peninggalan nenek moyang yang dijaga erat dan juga sebagai warisan kekayaan budaya dan kearifan lokal.
Perilaku homoseksual sudah sejak dulu ada, salah satunya dapat dijumpai pada ritual Inseminasi yang dilakukan secara turun temurun oleh kalangan orang Melanesia dari Papua, seperti orang suku Sambia dan Etoro. Praktek atau ritual ini disusun berdasarkan usia dan diarahkan kepada anak anak yang menginjak dewasa sebagai ritual menuju kedewasaan. Menurut kepercayaan mereka, anak laki laki yang menginjak dewasa harus dibersihkan dari unsur perempuan sebelum menjadi pribadi yang dewasa. Anak laki laki tercemar dengan unsur perempuan, melalui cairan perempuan seperti saat menyusui, dan kontak dengan Ibu serta anggota perempuan lainnya. Untuk mengindari kontaminasi perempuan lebih lanjut, maka diadakan ritual pembersihan yang disebut sebagai “Inseminasi”. Setelah usia tertentu, misalnya saat mulai menginjak remaja anak laki-laki diambil dari orangtuanya khususnya Ibunyan dan tinggal terpisah dari rumah untuk dikumpulkan dengan anak laki laki lain yang masih muda dan belum menikah. Mereka dikumpulkan kedalam rumah yang disebut sebagai rumah bujangan. Hal ini bertujuan untuk membina solidaritas antar kaum laki laki dalam suku, juga untuk mempersiapkan anak muda agar menjadi prajurit yang tangguh dan hebat.
Setelah berpisah dari keluarga khususnya Ibunya, anak laki laki dibesarkan dan dididik bersama dirumah bujangan sebelum mereka mempunyai istri. Agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang tangguh, seorang anak laki-laki harus menyerap cairan semen atau sperma dari orang yang dianggap sudah dewasa. Akan tetapi sebelum ritual itu dimulai anak laki laki tersebut (suku Sambia) harus melewati dua ritual terlebih dahulu. Ritual pertama dimulai dengan mengeluarkan darah dari hidung dengan cara menusukkan kayu runcing atau batang rumput kering ke dalam hidung hingga berdarah. Ketika darah berhasil keluar dari hidung, maka upacara syukuran pun dilaksanakan. Mereka bahkan saling memeluk dan berjabat erat hingga menangis bersama tanda kebahagiaan. Setelah ritual tusuk hidung, anak laki laki suku Sambia akan dicambuk hingga dipukuli. Ritual ini dipercaya untuk menguatkan fisik dan mental mereka agar menjadi prajurit yang tangguh.
Setelah melewati kedua ritual tersebut, ritual meminum air sperma pun dimulai. Cara menerima cairan laki laki dewasa ini dapat dilakukan dengan menelan sperma melalui oral seks (fellatio) atau sebagai pihak yang dipenetrasi dalam hubungan seks anal homoseksual. Laki laki yang menyumbangkan spermanya sebagai inseminator adalah anggota suku yang dianggap lebih tua dan dewasa, biasanya berasal dari paman mereka, atau jika anak tersebut telah dijodohkan sebelumnya maka sang mertua laki laki atau calon kakak ipar anak itu dianggap sebagai inseminator yang tepat. Ritual dan aktivitas ini berlanjut dan dilakukan terus menerus sejak masa akhir anak anak dan selama masa remaja dalam rumah bujang. Ritual dapat dianggap selesai jika anak laki laki tersebut telah menyerap cukup unsur laki laki dewasa, yaitu ketika sang anak telah dianggap dewasa (berumur 20 tahun), atau biasanya ketika kumis dan jenggotnya mulai tumbuh dan sudah siap untuk menikah.
Mungkin tradisi ini dianggap sebagai sesuatu yang menjijikkan bagi sebagian orang khususnya generasi milenial, namun itulah yang terjadi bahwa faktanya keberagaman gender dan seksualitas seperti homoseksualitas sudah tumbuh dan berkembang sejak lama. Masyarakat yang mengetahui hal ini menghormati sebuah tradisi suku Sambia karena menjadi warisan budaya yang tidak bisa ditolak begitu saja.




Kamis, 13 Juli 2017

Unknown
Warok dan Gemblak : Homoseksualitas Dalam Budaya
Oleh : Tedi Dwi Sampurno
https://www.google.co.id/search?q=warok+dan+gemblak&source=lnms&tbm=isch&sa=X&sqi=2&ved=0ahUKEwi71dL5rYbVAhXMk5QKHSbqCCQQ_
AUIBigB&biw=1366&bih=613#imgrc=5WEMgG-BVInT6M:


Pada umumnya, kita membedakan jenis kelamin manusia menjadi 2, yaitu laki laki dan perempuan. Namun tahukah bahwa dibeberapa suku ada yang membedakan jenis kelamin atau gender menjadi 5 seperti halnya masyarakat Bugis. Masyarakat suku Bugis di Sulawesi Selatan mengenal adanya 5 gender, yaitu laki-laki, perempuan, calalai (perempuan maskulin yang biasanya mempunyai pasangan perempuan lain, calabai ( lelaki feminim yang biasanya berpasangan dengan lelaki) dan Bissu yang dianggap kombinasi atau percampuran dari keempat gender yang ada. Selain itu bahkan suku Muangthai mengenal pembagian gender menjadi 10.
Tidak bisa dipungkiri bahwa keberagaman gender dan seksualitas ada dan berkembang di Indonesia. Namun, keberagamaan gender dan seksualitas nampaknya tidak mendapat tempat dimasyarakat. Masyarakat seakan bersikeras, memaksa dan mengakui adanya dua gender saja yaitu lelaki dan perempuan dengan sebuah keharusan yang harus dipenuhi. Sebuah keharusan ini misalnya laki laki harus maskulin dan perempuan harus feminim. Seseorang yang melampaui batas dengan keharusan tersebut akan dianggap menyimpang dengan nilai yang ada dan dianggap sebuah pelanggaran terhadap ajaran agama. Sebagai contoh seorang waria, gay, ataupun lesbian mungkin akan dianggap minoritas dan didiskriminasi oleh masyarakat pada umumnya walaupun sebagian mereka juga diterima kedalam sebuah tempat tempat hiburan.
Namun satu hal yang tidak bisa dibantah bahwa seksualitas adalah satu bagian yang dimiliki manusia. Seksualitas adalah bagaimana manusia mengalami, menghayati dan mengekspresikan diri sebagai mahluk seksual. Banyak masyarakat Indonesia yang berpendapat bahwa perilaku seksual seperti homoseksual tidak dibenarkan dalam persepektif agama maupun budaya lokal karena melanggar nilai nilai yang ada. Tapi sebenarnya homoseksual ini telah lama tumbuh dan berkembang didalam beberapa tradisi dan budaya di Indonesia. Sebagai contoh adalah hubungan homoseksual yang terjadi dalam kesenian warok-gemblak
Keberadaan warok-gemblak di Ponorogo tidak bisa dilepaskan dari kesenian rakyat yang di sebut Reog yang telah menjadi trademark Kabupaten Ponorogo. Warok merupakan tokoh utama dalam pertunjukkan reog yang digambarkan sosok yang sakti atau tangguh. Keberadaan warok kemudian menjadi tokoh sentral dalam kesenian reog tersebut. Dalam kesenian reog, selain warok sebagai tokoh sentral juga dikenal keberadaan tokoh pembarong yaitu tokoh yang membawa barongan serta gemblak atau remaja laki laki berparas tampan yang menjadi pendamping warok. Relasi antara warok dan gemblak tersebutlah yang kemudian dapat dikategorikan sebagai bentuk relasi homoseksual yang telah melembaga dalam tradisi reog ponorogo.
Keberadaan gemblak selalu diperankan oleh remaja laki laki berparas tampan yang berusia antara 10 sampai 17 tahun. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa persyaratan gemblak haruslah laki laki karena seorang warok tidak boleh kesengsem atau jatuh cinta kepada perempuan. Jika pantangan ini dilanggar maka kekebalan warok akan hilang, kulit menjadi empuk, tulang menjadi rapuh dan perut menjadi seperti gedebog pisang. Dalam pertunjukkan reog ponorogo pun, seorang warok yang digambarkan sosok yang sakti memiliki banyak sekali prasyarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan pementasan. Salah satu prasyarat yang harus dipenuhi adalah tubuh harus bersih karena akan di isi dengan kekuatan dan kesaktian. Oleh sebab itu calon warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan.
Dari segala persyaratan yang harus dipenuhi maka muncul apa yang disebut sebagai gemblakan. Gemblakan adalah suatu upaya warok untuk menyalurkan hasrat dan emosi seksualnya kepada sesama jenis karena dalam pantangannya warok jelas dilarang untuk berhubungan dengan wanita. Oleh sebab itu kemudian warok memiliki gemblak, yaitu anak laki laki usia 12-17 tahun berparas tampan dan terawat yang dipeliharanya sebagai klangenan. Seorang gemblak memiliki peranan sebagai penari jaranan yang didandani menyerupai wanita. Namun selain peranannya dalam pertunjukkan, peranan gemblak juga akan berlanjut dalam kehidupan pribadi sang warok yang menjadi pengasuhnya.
Untuk meminang seorang gemblak, biasanya warok harus melakukan pinangan sebagaimana halnya tradisi dalam perkawinan. Seorang gemblak yang dipilih oleh warok  berdasarkan ketampanan dan kebersihannya. Sang warok biasanya meminang dengan mas kawin beberapa ekor sapi betina dan sebidang tanah. Setelah dipinang, gemblak akan dipenuhi segala kebutuhannya dan mulai diperlakukan layaknya seorang istri sungguhan. Kepemilikan gemblak ini juga menunjukkan status sosial sang warok. Semakin banyak gemblak yang dimiliki warok maka semakin tinggi pula status sosial yang dimiliki sang warok dan menjadi kebanggannya. Selain itu pada umumnya kerelaan menjadi gemblak biasanya terjadi karena masalah ekonomi keluarga. Menjadi seorang gemblak dapat meningkatkan ekonomi keluarga, itulah sebabnya sang keluarga merelakan anak laki lakinya untuk dipinang demi kesejahteraan anak dan keluarganya sendiri.
Fenomenan hubungan antara warok dan gemblak dalam kenyataannya dapat diterima oleh masyarakat Ponorogo dan menjadi sesuatu yang wajar wajar saja. Keberadaan warok sebagai sosok yang sakti telah membentuk seorang warok dianggap daya supranatural yang tinggi sehingga terlihat kharismatik dan disegani oleh masyarakat. Adapun relasi antara warok dan gemblak sebagai hubungan homoseksualitas dalam kacamata masyarakat dianggap sebagai konsekuensi yang harus dijalani untuk memperoleh kesaktian, bukan semata mata untuk melampiaskan nafu seksual. Terakhir, preferensi warok dan gemblak untuk menjadi homoseksual bukan semata mata karena orientasi seksual mereka yang mengarah kepada homoseksual, melainkan lebih mengarah kepada pemenuhan pantangan dan siasat untuk tidak berhubungan dengan wanita. Selain itu juga untuk membantu kondisi ekonomi gemblak. Keberadaan dan eksistensi warok – gemblak dapat diterima oleh masyarakat lokal karena telah menjadi tradisi dan kearifan lokal dan sang warok tetaplah menjadi sosok atau tokoh yang disegani tanpa harus merasa malu menjadi tokoh warok


Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Templatelib